Friday, January 31, 2014

My Hijab Journey

Ini tahun 2014. Jadi, saya sudah berhijab konsisten selama kurang lebih 16 tahun. Alhamdulillah, sudah lama juga ya, dari 1998. Saya memutuskan untuk konsisten memakai, setelah sebelumnya Cuma kadang kadang pakai, yaitu sejak sekitar tahun 1992.


Yup. 1992. Angka yang jadul banget yah. Itu saat saya kelas 4 SD. Mungkin 1993 ya (kelas 5), saya tidak terlalu ingat pastinya.


Ada keluarga yang pakai jilbab? No


Bapak kyai? No


Ibu ustadzah? No


Sekolah di pesantren? No. Saya sekolah di sekolah umum yang multikultur multiagama. Dalam 1 kelas, saya punya teman teman Sasak, Bali, Jawa, Sunda, Bugis, Islam, Kristen, Katolik, Hindu. They are all great people. Love them


Saat saya kelas 4 SD, saya tinggal di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Saya tidak mengenal 1 orang pun yang sehari harinya pakai jilbab rapat. Jilbab sih sudah dikenal, buat dipakai kalau lebaran dan hari raya lain, atau waktu kasidahan. Tapi untuk sehari hari? Hmm agak agak lupa sih ya. Rasanya nggak ada. Mungkin ada sih anak IAIN, tapi saya tidak, terlalu ingat. Saya Cuma ingat papa mama saya agak agak melihat saya aneh. Tapi mereka ngga melarang sih, karena mereka orang tua yang sangat demokratis.


Jadi, 2 kali seminggu, datang guru ngaji. Awalnta guru ngaji saya adalah pegawai papa di kantor. Saya ingat saya memanggil beliau Pak Pah ( ternyata namanya Fachruddin), orang Sasak asli. Beliau yang mengenalkan saya dengan tajwid. Lumayan lah, karena bimbingan beliau saya juara 1 lomba tajwid di sekolah. Not bad , hei? Hihi. Pak Pah ini fokus di mengaji, membaca AlQuran. Membaca saja. Lalu entah apa sebabnya agak agak ngga ingat, guru ngaji diganti oleh seorang mahasiswa IAIN (Ya Allah, maafkan aku pak, aku melupakan namamu). Rupanya ilmu beliau tidak hanya di membaca saja, tapi kami juga sering mengkaji.


Dari pak mahasiswa IAIN ini lah saya dikenalkan dengan ayat hijab. Begitu jelas. Perintah Allah. Batasannya juga jelas. Bukan tipe tipe ayat yang butuh mikir apaa yaa ini maknanya. Ayat ini membuat saya mikir berhari hari (atau berbulan bulan ya). Ya, saya masih kelas 4 atau 5, saya lupa. Entah kenapa saya tidak mempertanyakan kenapa orang orang di sekitar saya tidak berhijab. Mama saya saja tidak tahu tentang ayat itu. Saya hanya fokus pada perintah Allah itu. Tidak lama kemudian saya sering  ke mana mana pakai kerudung, dengan keterbatasan pakaian. Dulu fashion ngga seperti sekarang. Nyari padanan baju panjang aja susahh sekali. Saya ingat foto foto saya berjilbab di saat SD itu old-fashioned banget, bahkan untuk penilaian di jaman itu. Saya sendiri tidak pernah merasa PD dengan fashionnya. Saya sering merasa baju saya tabrak lari dan ngga ada bagus bagusnya. Saya bahkan ngerasa seperti ‘tante tante’. Tapi dari hati saya yang terdalam, saya lebih suka berpakaian seperti itu daripada tidak pakai kerudung rapat. Saat itu mama saya membebaskan saja. Papa saya malah berpikir ini Cuma emosi sesaat, haha.


Boleh saya ulang bahwa saat itu saya tidak mengenal siapapun yang berhijab rapat sehari hari? Saat itu belum ada dakwah intensif seperti sekarang. Tidak ada panggilan ana, anta, anti, ikhwan, akhwat, ucapan barakallah, jazakillah, dll yang sering terdengar sekarang. Tidak pernah pula sedikitpun pernah mendengar istilah salafi atau wahabi, yang konon kabarnya di masa kini ‘dipersalahkan’ sebagai penyebab terjadinya apa yang segolongan orang sebut arabisasi ini (jilbab dianggap budaya arab yah menurut pak Quraish Shihab? hihi. Hadeehh saya punya opini khusus soal yang satu ini, tp kapan kapan aja ah bahasnya). Saya hanya ditunjuki Al Quran. Itu saja. Jelas jelas perintahnya ditujukan ke wanita muslim, bukan orang Arab. Al Quran memang dari Arab. Yes. Kalo memang mengikuti Quran disebut arabisasi, well, ya sudahlah, pakai saja istilah itu. Let say im a victim of arabisasi. Hehehehe.. I’m an aware victim. So no problem. 


Masuk SMP, saya menunjukkan keseriusan dengan mengajukan proposal pada papa untuk mengenakan jilbab di sekolah. Saat itu tidak direstui. Sebenarnya bukan karena tidak demokratis. Tapi papa belum mengerti bahwa ini kewajiban, dan papa takut ini masih gejolak kawula muda yang mencari jati diri. Rasanya mama malah sempat bilang, nanti saja pakai kerudung kalau sudah menikah. Tapi ya sudahlah. Saat itu saya sangat orangtua-minded, maksudnya saya sangat mengagungkan kepatuhan terhadap orang tua. Jadi saya nurut aja. Yaa memang nyatanya saya ternyata mengalami masa abg yang banyak gaya, ngeceng sana ngeceng sini, hihi. Dulu lagi musim nge gank, populer2an, ada pemilihan king queen segala di sekolah (zzzz ga penting banget deh penobatan itu). Tapi saya ngga pacar2an seperti yang lain. Bukan karena haram (blm tau apa apa tentang itu), tapi karena kata papa nanti aja pacarannya kuliah tingkat 2.  Jadi ya sudah saya terima nasib saya ngeceng ngeceng saja. Lebih enak ngeceng, bisa banyak yang dikecengin. Haha.


Daftar SMA, lagi lagi saya mengajukan proposal untuk pakai jilbab. Alhamdulillah, melihat kesungguhan saya, papa restui. Yippiiiie. Masa MOS diwajibkan pakai baju SMP, so saya masih pakai setelan gaul itu. Begitu selesai MOS, pakai baju SMA yang tertutup. Alhamdulillah, i’m so relieved, walaupun –waktu itu-, saya lebih suka melihat muka saya tanpa jilbab daripada dengan jilbab, karena muka saya bulat, dan jilbab segiempat itu bikin muka saya terlihat tante tante. Tapi ya itu tadi, saya merasa ada kebebasan di dalamnya.





Alhamdulillah yaaa sekarang gampang banget cari baju. Mau pakai abaya polos aja ngerasa cukup pede, karena cuttingnya bagus, bahan kerudung juga bagus bagus. Thanx to fashion ;p  Makin ke sini baju saya semakin longgar tapi ngga old fashioned, makin longgar saya merasa semakin bebas, selain bebas badan ngga jadi obyek pandangan/syahwat, saya juga jadi merasa bebas dengan keterikatan harus tampil jadi pusat perhatian, keterikatan dengan bagaimana orang melihat kita secara fisik. Potensi penyakit hati dengan berhijab makin longgar sih tetap ada, tapi potensinya sudah jauh dipangkas:) and i'm so happy with myself now.

Disclaimer: Sungguh saya baru tahu kalau hari ini adalah Hari Hijab Internasional. Tiada sedikitpun terbersit menjadikan hari ini spesial secara spiritual, karena memang tidak ada tuntunan apapun. Ini juga kayaknya baru baru dicanangkan ya, ga tau juga, kok tiba2 hari ini seliweran Hijab Day di newsfeed FB. Selama bukan terkait ritual, saya mengambil pilihan untuk membolehkan menjadikan hari hari tertentu sebagai 'momen khusus untuk menjadi reminder.


No comments:

Post a Comment