Saturday, May 26, 2012

Montessori Education untuk Bayi -Rangkuman

Rangkuman dari sinih:

http://www.montessori.org/sitefiles/Mont_Way_Infants_Todder.pdf

 

Practical Life for Infants

 

Bentuknya adalah partisipasi anak untuk merawat diri sendiri, makan sendiri, dsb --- sepertinya ini untuk anak di atas 7 bln  yee..

 

Umur 15 bulan, toddler suka main main dengan air --- noted

 

 

Fine-Motor Control

 

  • Suka bereksperimen dengan hubungan sebab akibat à milsanya shaking a rattle, pukul pukul barang untuk menimbulkan suara.

  • Pada saat usia 9-12 bulan, ortu mulai memberikan makanan yang bisa dipegang, izinkan anak utk melakukannya sendiri.

  • Kasih gelas tanpa tutup, BUKAN gelas anti tumpah ---- ohohoho…. Gak laku dehh gelas anti tumpah


 

Sensorial Development

  • rattles, bells, music

  • suara manusia à ayo makkk kudu cerewet

  • mobiles dan cermin untuk stimulasi visual

  • benda benda bertekstur untuk dipegang

  • Suara burung, hembusan angin, tetes air hujan, sinar matahari


 

Receptive Language

 

  • They need to be exposed to language with the adults around them talking to them and explaining what is happening.

  • We should tell the baby what we are going to do before we do it. For example, we might say, “I’m going to change your diaper,” or “Let’s go get into the car.” They begin to understand what we are telling them. Adults should just assume the baby understands them.

Home Birth – Melahirkan Hemat Energi

Maaf kalau judulnya ‘mengundang’. Mungkin akan mengundang orang berpikir ‘jadi gue melahirkan ga hemat energi?’ Sebenernya bukan gitu yaa maksudnya. Hehehehe…

Energi, yang ujung ujungnya menjadi emisi karbon, adalah konsekuensi dari kegiatan manusia. Mau gimanapun juga kita kampanye hemat energi, tetep aja judulnya ‘hemat’, atau ‘ minimasi’, atau ‘mengurangi’, nggak mungkin menghilangkan. Jadi ya tidak bermaksud berlebihan, trus jadi anti naik mobil, ngga pake plastik sama sekali. Bukan gitu lho yaaa maksudnya..

Sebenarnya, belum tentu juga sih kalau melahirkan di rumah lalu pasti lebih kecil emisi karbonnya daripada melahirkan di RS.  The point is, dengan melahirkan di rumah, kita bisa mengatur banyak hal.. dalam hal ini, penggunaan energi. Banyak yang bisa diminimalkan, walaupun ada juga yang malah lebih tinggi. Selain itu, kerangka pemikiran melahirkan di rumah beda dengan di rumah sakit. Mindset persalinan di rumah biasanya adalah ‘semua akan baik baik saja’ sehingga jikapun ada sedikit penyulit yang sifatnya tidak darurat, penolong persalinan akan mengusahakan untuk memperbaikinya dengan cara yang alami. Sedangkan di RS*, ada sedikiiiiit saja indikasi yang di luar textbook mengenai skenario melahirkan normal, intervensi alat/obat pun lebih mudah untuk mengambil peran.

(*kita ngomongin RS secara umum ya, ngga semua)

Yuk kita bedah apa saja yang bisa dikurangi emisinya di rumah:

  1. Transportasi


Dengan melahirkan di rumah, paling tidak kita memerlukan 1-3 orang luar rumah untuk melakukan perjalanan bolak balik. Tentu konsumsi energinya akan sangat relatif terhadap kendaraan apa yang digunakan, seberapa jauh lokasi yang harus ditempuh. Tapi kasarnya, kalau bicara jumlah personil, yang di rumah lebih bisa ditekan bukan? Apalagi kalau unassisted alias ngga pakai pendamping, jadi zero emission deh dari aspek ini.

  1. Penggunaan listrik

    1. AC. Kita bisa lho mengatur mau pake AC hemat energi, atau mematikan AC sama sekali.

    2. Lampu. Jika kita mengacu pada proses kelahiran yang baby-centered, tentu kita akan memilih lampu yang redup, untuk mendapatkan transisi yang lembut dari dunia bayi sebelumnya menuju dunia baru. Hanya perlu 1 lampu saja, lampu dengan daya yang rendah. Atau mau pakai lilin? Boleh ajaa. Silahkan diatur atur.

    3. c.       Peralatan medis. Homebirth dilakukan sebaiknya dengan keyakinan bahwa tidak ada komplikasi pada kehamilan. Kelahiran di rumah menjadi tidak begitu membutuhkan peralatan peralatan yang membutuhkan listrik, maupun alat alat bantu seperti oksigen, CTG, perlengkapan support untuk infus, maupun pada proses sectio. The less equipment you use, the less carbon you emit. Tentu saja peralatan emergency lebih baik disiapkan untuk berjaga jaga.

    4. Perlengkapan

      1. Underpad: Bisa menggunakan material yang bisa digunakan kembali, misalnya handuk atau selimut kain. Disposable underpad mungkin akan perlu digunakan dalam kondisi terjadi pendarahan. Gampang kok, tinggal survey aja tempat terdekat yang menjualnya, dan pastikan akses mudah untuk membelinya.

      2. Popok bayi. Di RS kita terkadang tidak bisa memilih bayi kita mau dipakaikan popok seperti apa. Beberapa RS masih menggunakan popok kain. Tapi tidak sedikit juga yang menggunakan popok sekali pakai.






See? Selain punya kontrol terhadap skenario prosesnya sendiri, kita juga bisa punya kontrol terhadap penggunaan energi J

Wednesday, May 23, 2012

Rahmanindya Khairin Annisa - The Journey to the World (1)

Pada kehamilan ketiga ini, lumayan rada panjang perjalanan survey dokter dan rumah sakit, karena dokter yang open-minded, mau diajak diskusi, dan fasilitas persalinan yang baik, penting buatku. Apalagi proses persalinan pertama (walaupun Alhamdulillah normal), adalah seperti sebuah teror buatku: rasa sakit yang tidak pernah diduga akan seperti itu, pemeriksaan dalam yang intens, proses dorong perut rame rame oleh banyak bidan, kebingungan mengejan karena instruksi dokter yang beda dgn instruksi tubuhku dan bius jahitan yang tidak mempan. Memang sih akhirnya aku sempat berpikir, ohh begini tho dukanya melahirkan, ya sudah lah ,… ‘wayahna’, kata orang sunda, itu harga menjadi seorang ibu. Lagian kata orang orang juga begitu. Penderitaan yang tidak istimewa, hehe.

(Note: Ngga semua persalinan di RS horror lho ya… banyak juga cerita rekan rekan yang merasa fine fine aja, ketemu tim yang oke, puas dengan pelayanan RSnya)

Lalu setelah baca sana baca sini, dan ketemu dengan filosofi gentle birth, ealah… aku merasa agak tertipu dengan pengalaman melahirkan tersebut. Ternyata untuk melahirkan, aku tidak wajib merasakan teror yang kualami sebelumnya. Ternyata sebenarnya aku punya pilihan. Pilihan tersebut memang belum tentu mudah dikomunikasikan dengan pihak tempat bersalin, tapi pilihan itu ada, yaitu untuk merasakan proses persalinan yang terduga, seperti yang kita inginkan, di mana kita lah (ibu, dan bayi) yang menjadi subyeknya. Selain itu, ada pula aspek yang tidak aku pahami sebelumnya, yaitu kesejahteraan bayi, secara psikis, yang lebih mungkin untuk dicapai oleh persalinan yang minim intervensi medis, persalinan yang sealami mungkin, yang cukup hanya memanfaatkan insting yang sudah given alias dari sononya, dikaruniakan oleh Allah, Sang Pencipta. Ternyata, bukan cuma ibu yang punya mau untuk diperlakukan begini dan begitu. Bayi juga. Ia punya keinginan untuk dilahirkan dengan kondisi yang ia mau, dan membahagiakan.

Memang tidak mudah mengkomunikasikan hal yang wajar ini, karena ternyata persalinan yang alami (justru gak neko neko) dianggap neko neko di hadapan dokter/nakes. Lumayan panjang perjalanan menclak menclok mencari nakes. Mungkin memang aku tidak terlalu telaten untuk mencari lagi, mungkin bisa saja aku berjuang lebih jauh lagi, tapi ada suatu titik di mana aku merasa sudah cukup. Satu satunya pilihan… melahirkan di rumah. Bebas menentukan skenario. Alhamdulillah suami merestui (gak langsung begitu aja lho.. dari awal kehamilan udah sering diskusi). Waktu itu sih, restu suami benar benar jadi kunci. Kalaupun beliau tidak setuju, akupun ngga akan ngotot. Selanjutnya, rajin rajin  baca dokumen di sebuah grup yang membahas kehamilan dan persalinan, ikut pelatihan hypnobirthing, belajar  TAT (salah satu teknik trauma healing) walopun telat dan cuma sempet praktek sebentar, sedikit sedikit cari tau titik acupressure induksi.  Tapi dari semua itu, yang paling bisa konsisten aku lakukan adalah sesederhana berdoa tiap habis solat. Itu yang paling ngaruhh buatku untuk stay positive. Gini nihh doaku, aku minta ke Allah supaya: posisi janin bagus, kepala di bawah, anterior, plasentanya di atas, tali pusat terjulur demikian rupa sehingga memudahkan persalinan (maksudnya supaya ga ngelilit lilit gitu), air ketuban bagus, jernih, selaputnya kuat dan pecah di saat yg tepat (siap), melindunginya dari benturan dan infeksi. Persalinan lancar, tenang, membahagiakan, penuh rasa syukur, …  dst.

Rinci bangettt yaa doaku hehe….  Tapi subhanallah, presentasi bayi memang selalu normal: kepala di bawah, anterior, ndilalah tali pusatnya ternyata besar dan tidak panjang (memungkinkan asupan yang baik dan kemungkinan lilitan kecil kalo kataku mah), selaput ketuban kuat (pecahnya pas bukaan lengkap). Dan semoga… ia lahir dengan perasaan yang berbahagia.

Karena sepanjang kehamilan aku lebih banyak baca artikel artikel yang suportif, Alhamdulillah ngga panikan kalau denger pernyataan pernyataan standar dari dokter yang disampaikan , misalnya..

‘beratnya kurang nih’

‘air ketubannya agak kurang di sisi sini, kita CTG ya, kalau hasil ngga bagus, kita induksi malam ini’ ---- week 37, akhirnya CTG 2 jam dan ternyata semua baik baik aja

‘minus berapa? Nanti kalau lahiran sepertinya harus pakai vacuum ya’

‘minus berapa? Di atas 4? Coba kamu cek ke dokter mata deh boleh normal atau nggak’ ---- dokter yang lain

‘ibu ibu sekarang mah kebanyakan baca internet’  ---- dokter yg lain lagi, setelah menanyakan tentang delayed cord clamping dan pengakuan jarang minum susu.

Yah yah… hal itulah yg membuat sejak week 37 aku kontrol mingguan ke bidan deket rumah aja, dengan catatan tetep mengawasi aktivitas gerakan bayi.

Tidak ada yang salah lho dari pernyataan pernyataan dokter. Merekalah ahlinya untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. It’s their job. Aku sangat menghargai dokter dokter itu. Bahkan obgyn yang menanganiku pada pengalaman pertama melahirkan, menurutku, adalah obgyn terbaik yang pernah aku temui. Tapi aku sadar betul bahwa pertemuanku dengan dokter hanya 1 bulan sekali, dan aku yakin aku tahu lebih banyak tentang kondisiku. Aku yang tahu aktivitas gerak janin dalam perutku. Alat dokter yang akan mengkonfirmasi. Kalau sudah bertemu dengan pernyataan yang terkesan mengkhawatirkan itu (yang hanya berdasarkan judgement 1 kali pertemuan yang ngga lebih dari 10 menit dan pemeriksaan sesaat), siapa lagi yang mau menjadi penyeimbang kalau bukan diri sendiri. Sudah ada pihak yang memberi informasi bahwa everything could be wrong. Tapi lalu, siapa yang akan membisiki kita bahwa everything could also be right? Dannn… aku yakin banget bahwa di dunia ini, di antara sekian banyak ibu yang hamil bersamaku, lebih banyak yang right nya daripada yang wrong. Antisipasi itu perlu, tapi daripada fokus ke probabilitas yang kecil, mending ke yang gede kan?

Mengenai keputusan home birth, percaya duehh itu bukan karena sesuatu yang hebat atau gimana gimana (habiss.. banyak orang yang bilang begitu). Komentar umum ada 2: hebat, dan nekat. Andaikan saja aku menemukan klinik atau RS yang bisa memfasilitasi/memperjuangkan persalinan sesuatu fitrahnya, I woud prefer hospital/clinic, karena ngga ingin ada pihak yang khawatir, apalagi di sekitarku ada saudara saudara dekat yang mengalami komplikasi kehamilan yang tidak sepele kasusnya. Sebelum ini pun aku sempat berkomentar serupa pada seorang teman yang sudah mendahului melakukan home birth: ngotot, nekat, bikin repot diri sendiri, dll. Ehhh ternyata setelah melakukan pencarian, memang ngga gampang yah nemu jodoh. Alhamdulillah kehamilan berlangsung tanpa komplikasi. Kondisi selalu normal dan sehat, walaupun sempat batuk berkepanjangan.

Monday, May 14, 2012

Rahmanindya Khairin Annisa - The journey to the world (2)

Momen kelahiran kali ini cukup menegangkan. Antara ingin menyerahkan sepenuhnya kapan baby R mau keluar, atau membujuknya untuk segera keluar, krn akhir bulan kami harus angkat kaki dari rumah ini (lagi proses penggusuran rumah oleh negara hehe). Sejak week 37 aku sudah getol induksi alami, week 38 sudah mulai gelisah (padahal baru 38 yaa… waktu bisa saja masih panjang). Kalau ayahnya baby R malah membujuknya untuk keluar hari Sabtu, supaya ngga ngambil jatah cuti, sehingga kalau disambung dengan cuti, liburnya jadi bisa lebih panjang.,

Pada ujung kehamilan ini juga aku entah kenapa agak malas mempersiapkan sgala sesuatu. Siapin popok seadanya aja, ga pakai dihitung hitung kebutuhannya. Begitu pula baju, dan kebutuhan lainnya. Pokoknya mikirnya gimana nanti. Kolam untuk waterbirth sebenarnya sudah kusiapkan jauh hari, malah sempat dipompa saat uk sekitar 33, biar gampang ntar, begitu pikirku. Tapi krn dipake main crayon sama Raul, kukempesin lagi dehh. Sampai UK 39 gak kupompa juga, kuatir masih kelamaan. Tas bayi untuk outing juga belum ada. Pada awal kehamilan aku sempat menyiapkan birth plan yang cukup rinci, dan membayangkan scenario yang akan terjadi. Tapi ujung ujungnya, lembaran itu ngga terpakai. Skenario mah gimana nanti, aku Cuma mencatat yang prinsip prinsip aja di otak. Perkara nanti bayi mau ditangkap siapa, di mana posisi si ayah, sama sekali ngga aku setting. Kalau mau nyemplung ya mangga, kalo ngga juga ngga apa apa. Aku juga ngga bisa menebak bagaimana keinginanku nantinya.

Tidak seperti kehamilan sebelumnya, kali ini aku sering merasakan Braxton hicks sejak UK 34-35, bikin kegeeran aja kalo bakal keluar cepet.  Kalo kontraksi pun lumayan kenceng dan sakit, sehingga pada malam tgl 12 itu aku menunggu, mengamati, ini beneran gak sih… jangan jangan seperti hari biasanya. Kontraksi sudah aku rasakan sejak jam 9, tapi krn sudah biasa kontraksi palsu, ya kubiarin aja. Sampai jam 11 baru deh kubilang sama suami kalau kontraksinya teratur (masih ringan sih). Malam malam begitu baru deh kita pompa kolam.  Tengah malem bikin ribuut, karena pompanya memang tipe elektrik yang paling murah, ributnya bukan main. Sambil dipompa, kami pergi ke bidan dekat rumah, untuk cek apa ada bukaan. Aku bilang sama bidannya, kalau blm ada lendir darah. Bidannya bilang kalo belum ada lendir, daerah situnya cenderung kering, kalau VT bakal sakit (iiiyhhh kok nakut2in sih). Kubilang aku slalu tegang kalo VT mba (maksudnya pelan pelan please…). Alhamdulillah baru skali itu aku di VT nggak sakit sama sekali, lembut banget cara periksanya. Jreeng… bukaan 3-4. Langsung deh kulapor ke mba Lidya (bidan yang mau bantu homebirth), beliaupun meluncur dari rumahnya yang cukup jauh dan aksesnya di jalur macet cet cet (Alhamdulillah jam 1 malem yee… no macet).

Sampe rumah,bukannya relaksasi dan menanti dgn tenang, aku jadi ikut sibuk sendiri, krn emang tata letak rumah blm dipersiapkan sempurna untuk proses ini. Harus angkat kasur, mindahin, ganti sprei, siapin alas, pasang alas anti air, baru kepikiran punya selang yang cukup atau nggak. Pokonya ikut sibuk, mumpung kontraksinya (Alhamdulillah) masih bisa ditahan. Baru deh setelah tim bidan dateng, aku ganti baju pake kimono (sebelumnya mandi dulu+keramas, gerah bo). Setelah semua settle (yaaa kolam blm terisi sih, itu minta tolong aja sama orang2 rumah), baru deh mba Lidya mulai acupressure (iiiihhh pijitannya uenak rek), endorphine massage, sambil kasih afirmasi semua lancar. Beliau pun selalu melatunkan zikir. Lalu beliau minta ijin istirahat dan diganti dgn mba Aya. Kamar aku setting dengan lampu tidur redup, aromaterapi elektrik aroma lavender(biar ga kerepotan kalo kehabisan lilin), dan musik lembut yang sudah aku buat playlist-nya (mostly jazz), gonta ganti dengan murottal. Ngga lupa juga menyiapkan beberapa bars coklat untuk ngemil. Nah waktu dipegang mba Aya ini kontraksi mulai kenceng. Nah nih bedanya ya.. aku enak enak aja ganti posisi. Bosen posisi berdiri, posisi berlutut, lututnya capek, minta tiduran. Tiduran kelamaan juga gak enak… ganti posisi berdiri sambil peluk suami. Sakit kontraksi sih tetep sakit yaaa (salut duehhh sama banyak orang yang bilang lahirannya ga sakit, hihi), tapi aku ngerasa bisa lebih mengelola rasa sakit itu, dengan mengalihkan ke pernafasan. Beda sama yang lalu jejeritan wae, hihi. Lalu sekitar jam 4, mba Lidya sudah selesai istirahat, lalu mempersilahkan aku masuk kolam, kalau mau.

Ya sudah dehh daku masuk kolam. Yang agak ngga aku duga, yang katanya refleks orang melahirkan itu jongkok, itu tidak terjadi denganku. Dah sering sih liat video WB pelakunya jongkok dan terlihat nyaman. Aku juga dah sering latihan jongkok dan sudah jago jongkok. Nah waktu di kolam aku mau coba posisi jongkok –sapa tau lebih nyaman- jadi bukan atas dasar insting, dan rasanya kontraksi jadi semakin terasa  sakit dan kakiku rasanya mau kram (padahal sblmnya kan udah jago latihan jongkok yah, hmmm). Aku hanya bisa bertahan 2 detik dalam posisi jongkok, dan badanku minta posisi rebahan miring sambil bersandar.  Akhirnya waktu dorongan begitu kuat, suamiku masuk ke kolam dan mensupport punggungku. Sempet aku coba jongkok lagi, tapi ngga berhasil lagi, ini badan kayaknya nolak aja gitu posisi jongkok. Ya sudah lah yaa… yang bilang posisi paling natural jongkok itu kan orang lain, ternyata tidak buatku, ngga mau maksa. Akhirnya posisinya duduk senderan ke suami. Masih tetep eling untuk tidak mengejan dengan sengaja walaupun dorongan luar biasa. Waktu dipastikan sudah bukaan lengkap, baru deh aku berani pake tenaga sengaja untuk mengejan. Bedanya dgn persalinan sebelumnya, kali ini aku benar benar sadar atas apa yang terjadi, rasanya kepala crowning, sensasi di setiap bagian tubuhku. Kalo yg dulu gak tau deh ya kayaknya disconnected banget, bingung, susah jelasinnya deh, mungkin krn banyak orang dan banyak suara ya jadi malah ngga fokus sama badan sendiri. Kalau persalinan kali ini, yang terdengar suaranya Cuma mba Lidya dan si ayah. Mama diem diem ngintip juga tapi ngga ngomong apa apa. Suara yang terdengar hanya, ‘bagus banget,,,”, “pinteer..”, “sebentar lagi..” “pasti bisa” something like  that lah. Later, mama bilang bubid benar benar hanya membiarkan proses berlangsung dengan sendirinya. Beliau baru menangkap bayi ketika badan betul betul sudah keluar sempurna.

Saat crowning hingga badan bayi keluar, rasanya aku agak kehilangan kontrol, karena proses puncak itu ternyata lebih lama dari ekspektasiku (mungkin karena memang prosesnya dibiarkan sealami mungkin). Belakangan sih kata mamaku yang lihat, sempet kepala sudah keluar tapi badan ngga keluar keluar. Dikasih kesempatan untuk pegang kepala tapi aku memilih tidak mau, karena agak kehilangan rasa rileks juga, badanku kaku kaya robot, menolak bergerak. Alhamdulillah hinggaaaa akhirnyaa  semuanya lepaaasss saat badan bayi meluncur dan ditaruh di dadaku. Cukup lama badannya ada di air, beberapa saat setelah diangkat, dia menangis. Alhamdulillaahhh…. Rasanya legaa sekali dan terharu. Azan langsung dikumandangkan, welcoming our beautiful baby girl.  Jam 6 pagi.

Yahh selanjutnya prosesi dilanjutkan di atas tempat tidur. Ternyata aku mengalami sedikit sobekan, sobekannya sepertinya di tempat yang sama dgn bekas jahitan episiotomy yang terdahulu. Memang siih sempet baca baca juga, kalo sudah mengalami episiotomy, risiko robek lagi di kelahiran mendatang lebih tinggi. Yahh hikmahnya siih… jalur robekannya sudah ‘dibuat’, jadi rapi dehh, hehe. Proses jahit menjahitpun tidak sehoror dulu, karena dilakukan ala servis di tempat spa. Setiap tahapan dijelaskan dan dilakukan dengan selembut mungkin.

Meanwhile, baby R tetap di atas dadaku, sambil kakinya dijejak jejakkan di perutku, yang katanya membantu kontraksi rahim untuk kembali seperti semula. Setelah selesai bidan berprakarya, baru deh baby R diukur: 46 cm, dan 3 kilogram pas. Kemudian bidan minta izin istirahat. Suamiku sama si sulung Raul juga istirahat (Raul bangun dari jam 3 pagi!). 2 jam kemudian tali pusar diputus dengan burning cord. Lama bo bakarnya, soalnya tali pusatnya tebel bangett.

[caption id="attachment_100" align="aligncenter" width="300"] Pas nyari 'pembatas' panas, asal ambil buku di rak.. akhirnya baby R dibakar tali pusatnya didampingi om Bob Sadino. Ehmm.. moga2 nanti mengikuti sukses om Bob ya nak:)[/caption]

Alhamdulillah.. proses berlangsung cukup cepat yaa.. kira kira hanya 3 jam sejak kontraksi intens. Yang lucu, walaupun ada water heater, ternyata aku tidak mengantisipasi bahwa kapasitas water heater memanaskan air itu tidak banyak. Cuma sempat ngambil air pake pemanas air sedikit, selanjutnya airnya ngga panas lagi. Akhirnyaaa…. Aku baru tahu belakangan bahwa ‘tim’ sibuk naik turun tangga utk merebus air dan nganter air. Oh lala… pasti capek yaa…  untung aja baru beli gas, hohoho..   beberapa hari yang lalu gas habis. Oalahhh..ternyata kamu mbrojolnya nunggu dibeliin gas dulu yaa.. hihi. Ndilalah.. lahirnya tepat pada hari Sabtu, hari permintaan dari ayahnya. You’re really a smart baby girl:)


Hosshh.. sekian cerita cerita kehamilan dan kelahiran dariku. Semoga bermanfaat:)