Monday, August 26, 2013

[Renungan] Ibu : Bekerja atau di Rumah ? (part 3 of 3)

https://www.facebook.com/notes/elma-fitria/renungan-ibu-bekerja-atau-di-rumah-part-3-of-3/10151818978712660

... lanjutan dari [Renungan] Ibu : Bekerja atau di Rumah (part 2 of 3).

Dari sudut pandang tentang anak.

Seperti halnya jodoh, yang sudah Allah pasang-pasangkan sedemikian rupa. Maka anak dan ibu pun demikian, sudah Allah pasang-pasangkan. Ibu yang ini untuk anak yang ini. Ayah yang ini, untuk anak yang ini. Allah menjamin tidak akan salah pasang, tidak akan salah menempatkan, dan tidak akan salah memberikan situasi.

Jika ibunya cerdas, dan ayahnya cerdas, silakan mengira-ngira, seperti apa anak yang akan Allah titipkan ? dan mengapa anak itu harus dititipkan pada orang tua yang ini ?

Maka, lagi-lagi, pasti ini ada tujuannya. Bagian dari misi penciptaan kita. Menjadi ibu adalah salah satu misi wanita diciptakan. Menjadi ayah adalah salah satu misi laki-laki diciptakan. Jadi observasi dengan menyeluruh, bagaimana kita bisa menjadi orang tua yang tepat untuk anak yang ini ? sesuai dengan tujuan Allah memasangkan kita dengan anak itu.

Dari situ, bisa dilihat apakah saat ini, pilihan untuk bekerja dulu, atau fokus di rumah dulu, sebagai pilihan yang tepat ? Ingat lho, “saat ini”. Karena bulan depan, tahun depan, bisa jadi beda lagi kesimpulan kita. Makanya, satu-satunya cara untuk tahu : pasang mata dan telinga batin, lalu tanya pada Allah

“what do YOU want me to do now ?”

Kaitannya dengan batas waktu, koridornya dalam Islam hanya : susui anak kalau bisa sampai 2 tahun, ajari anak shalat mulai 7 tahun (dan kalau usia 10 tahun belum shalat boleh dihukum), dan mempersiapkan anak masuk usia baligh (karena setelah baligh, pahala dan dosa mereka yang tanggung sendiri).

Dari sudut pandang tentang suami.

Ada anggapan yang umum : bahwa laki-laki ketika menjadi ayah sekali pun, punya kebebasan berada di luar rumah, dalam pekerjaannya, atau dalam aktivitas lain. Bisa kemana saja sesuka hati. Sementara wanita, ketika menjadi ibu, ruang gerak terbatas, seringkali hanya bisa di rumah saja, tidak bebas, tidak bisa kemana-mana dengan sesuka hati.

Well, untuk tahu apakah anggapan ini benar dan baik untuk dipercaya, atau justru menyesatkan pikiran, saya bertanya ke suami. Dan inilah jawabannya :

Lelaki (suami) baik-baik tidak pernah menganggap : berada di luar rumah – bekerja - beraktivitas lain, sebagai “enak-enak” atau “kebebasan”. Jika ada laki-laki yang berpikir itu kebebasan, maka dijamin dia bukan laki-laki yang baik.

Maka, wahai semua wanita, jangan mau merasa  iri dengan yang seperti itu. Jangan mau merasa “bebas” seperti itu, karena yang kau iri-kan, yang kau cemburui, sebenarnya bukan gambaran laki-laki baik-baik. Anda salah mengira.

Laki-laki yang baik akan membawa beban tanggungannya dalam pikirannya kemanapun dia melangkah. Setiap ikhtiarnya penuh doa semoga bisa memberikan yang terbaik untuk keluarga. Sebelah mana bebasnya ? sebelah mana enak-enaknya ?

 

Dalam ikhtiarnya, hampir selalu berhadapan dengan ketidakpastian. Ada saja yang tidak bisa diukur dari amanahnya. Cukup atau tidak untuk keluarga, barokah atau tidak, halal atau tidak, sesuai kompetensi atau tidak, berurusan dengan atasan dan bawahan bagaimana, dll. Sebenarnya, dunia di dalam rumah seperti urusan rumah tangga dan pengasuhan anak, justru lebih mudah terukur.

 

Jika wanita sering melihat suami yang baik-baik pun ketawa-ketawa di luar seolah hidup begitu bebas dan bahagia. Ah, itu karena, tidak semua laki-laki pandai mengekspresikan pikiran beratnya dan doa-doanya melalui raut wajahnya.

 

Jadi tak perlu lah saling iri. Karena dalam tugasnya, suami tidak mengambil jatah wanita dalam keutamaan dan kebahagiaan sebagai istri dan ibu. Begitu pun istri, dalam tugasnya, tidak mengambil jatah laki-laki dalam keutamaan dan kebahagiaan sebagai suami. Tidak ada yang saling mencuri jatah. Masing-masing punya jatahnya sendiri-sendiri.

Dengan sudut pandang ini, kita bisa memahami, bahwa jika suami dan istri bersepakat untuk si istri bekerja di luar rumah, maka hanya akan baik jika : bukan karena istri melakukan kewajiban suami. Hanya akan baik jika : istri murni melakukan itu untuk atualisasi dirinya. Hanya akan baik jika : suami dan istri sama-sama paham bahwa jika istri ikut menanggung kebutuhan keluarga, maka itu shadaqah. Oleh karena itu, tidak boleh ada paksaan. Tidak boleh ada tekanan, apalagi tuntutan.

Sebagai sepasang manusia yang sudah Allah takdirkan untuk bersatu, mulailah selalu dengan keyakinan bersama : apa yang Allah minta dari kita sekarang ?,

lalu perjelas melalui diskusi berdua karena butuh sama-sama paham dan sama-sama enak,

lalu sepakati, dan bergeraklah atas kesepakatan tersebut.

Sering-sering evaluasi pilihan-pilihan yang sudah diambil.

Dan pastikan, selalu, hadapkan wajah berdua hanya pada Allah. Lalu pastikan selalu menatap ke depan, ke arah yang Allah tunjukkan.

Apapun yang Allah pesankan saat ini pada anda, bekerja dulu ataupun di rumah dulu. Then you are in the right track to heaven :) . Congratulations Mom :)

[Renungan] Ibu : Bekerja atau di Rumah ? (part 2 of 3)

Inih lanjutannyaa di copas dari link inih


https://www.facebook.com/notes/elma-fitria/renungan-ibu-bekerja-atau-di-rumah-part-2-of-3/10151818885352660

 

... lanjutan dari [Renungan] Ibu : Bekerja atau di Rumah ? (part 1 of 3)

Okay, so now, what should I do ?

Tanya pada Allah SWT. Tanya pada yang membuat kita. Sebagai produk pabrik, maka bertanyalah pada si pemilik pabrik :

 

1.      1.  saya ini didesain untuk apa ?

2.      2.  untuk sampai pada misi pembuatan saya, saya harus melalui proses apa saja ?

3.      3.  Dan saat ini saya harus ada di proses mana ?

Sejatinya, hanya Allah yang punya segala jawaban yang kita tanyakan. Bukan forum ibu-ibu, bukan milis komunitas, bukan teman, bukan orang tua, bukan suami, bahkan ... bukan kita sendiri.

Pada dasarnya, hidup kita ini diperjalankan oleh Allah. Allah yang Menentukan kita akan belok kemana, parkir dimana, nge-gas dimana. Kita lah yang perlu pasang mata dan telinga batin, untuk mendengar petunjukNya.

Kita hidup dalam rencana Allah. Dan karena Allah Maha Mengurus hambaNya, maka dijamin, kita tidak akan ditelantarkan. Itu juga berarti, kita boleh, sangat boleh, percaya penuh pada rencanaNya.

Nah, Allah tidak selalu menjawab 3 pertanyaan tadi sekaligus saat ini. Dalam banyak kehidupan, Allah hanya memberi tahu kita beberapa tahun ke depan, atau bahkan beberapa hari ke depan. Ibaratnya, malam hari kita mengendarai  mobil di jalan panjang dan gelap gulita, dengan mengandalkan lampu mobil sebagai cahaya. Kita tidak bisa lihat ujung jalannya, tapi kita bisa lihat 20 meter ke depan dengan lampu mobil itu. Ya kita cukup percaya pada 20 meter di depan itu. 20 meter, lalu 20 meter lagi, lalu 20 meter lagi. Kita yakin, dengan mengikuti itu pun kita bisa sampai di ujung jalan.

Seperti itulah IMAN.

Percaya pada informasi dari Allah untuk 20 meter ke depan hidup kita. Iman yang membawa kita menjalani hari-hari dengan yakin. Karena pada hari-hari yang terbatas itu, kita percaya pada perintah Allah : jalanlah di jalan ini. Kita tidak tahu, untuk sampai di tujuan kita, kita akan dibawa belok kemana saja. Tapi kita tahu, kita akan dibawa Allah sampai ujung jalan, sampai ke misi penciptaan kita, hanya dengan terus menerus mengandalkan 20 meter di depan yang terlihat tadi.

And you know what ? that is enough. Sangat cukup untuk membuat kita hidup tenang dan yakin bisa sampai di tujuan kita. Asal ikuti pesan yang Allah berikan saat ini. Jadi pasanglah mata dan telinga batin.

Satu hal yang sangat saya yakini. Allah memberi bekal kekuatan pasti untuk sebuah maksud. Jadi seorang wanita diberi kecerdasan pasti juga untuk sebuah maksud. Dan itu pasti untuk sesuatu yang besar. Saya yakin, kecerdasan setinggi ini tidak hanya diberikan untuk beberapa orang yang ada di rumah saja. Terlalu banyak kalau hanya untuk suami dan anak-anak saja.

Maka pastilah kecerdasan tinggi ini dipersiapkan untuk amanah besar dan luas. Mungkin sebesar dan seluas umat. Dan amanah ini juga akan unik, sesuai misi penciptaan kita. Every task for every single person.

Jadi saya yakin, akan datang waktunya Allah menagih kecerdasan ini, untuk digunakan bagi kebaikan lebih banyak orang, untuk kebaikan umat. Nah, waktunya kapan ? biar Allah yang tentukan.

Allah Maha Tahu apa seorang hamba sudah siap dibawa ke amanah besarnya. Allah Maha Tahu, apa saja proses yang harus dilalui sampai seorang hamba siap menjalani misi penciptaannya. Maka pastikan, selama belum sampai ke amanah misi penciptaan kita, kita selalu meng-up grade diri kita menjadi lebih baik dan lebih cerdas.

Jika saat ini, misalnya, pesan dari Allah adalah : fokus dengan yang di rumah dulu. Maka yakinlah panggilan itu akan datang kok. Hidup kita masih panjang. Dan ketika panggilan itu datang, kita telah jadi orang yang berbeda dari kita sekarang. Ketika amanah itu datang pada kita, kita akan sangat bersyukur bahwa kita pernah dibina oleh Allah sebagai ibu rumah tangga di rumah, sehingga kita punya kekuatan-kekuatan yang tidak akan pernah kita punya jika kita tidak pernah jadi ibu rumah tangga.

Kehidupan rumah tangga, sebenarnya memberikan kesempatan seorang ibu melihat dirinya apa adanya, lepas dari penilaian kinerja perusahaan. Ini berarti juga kesempatan mengasah banyak sifat asli dalam diri kita. Jadi jika saat ini, misalnya, pesan Allah adalah : fokus di rumah, maka seorang ibu punya kesempatan memperbesar kapasitas keikhlasan, empati, kesigapan, termasuk iman.

Sehingga, pada saatnya amanah besar itu datang, kita akan tahu bagaimana mendahulukan kepasrahan pada Allah lalu diikuti dengan sebaik-baiknya ikhtiar.

 

... bersambung ke [Renungan]  Ibu : Bekerja atau di Rumah ? (part 3 of 3)

[Renungan] Ibu : Bekerja atau di Rumah ? (Part 1 of 3)

Copas dari tulisan temen sayah yang okehe bangeth

https://www.facebook.com/notes/elma-fitria/renungan-ibu-bekerja-atau-di-rumah-part-1-of-3/10151818852932660

Salah satu kegalauan yang terjadi pada ibu-ibu berpendidikan tinggi : memilih bekerja atau tinggal di rumah. Ini tentu saja sering terjadi pada teman-teman lulusan ITB.

 

Pemicunya bisa dari komentar orang, mulai dari yang halus sampai yang mencibir. Atau pertanyaan dari orang tua / keluarga, mulai dari yang sekedar bertanya, sampai yang seolah menagih. Atau dari diri sendiri : yang di rumah merasa ngiler ingin bekerja-berkarya di luar, yang bekerja di luar rumah ngiler ingin menghabiskan waktu dengan anak-anak di rumah.

 

It is a never ending topic. Ini juga pergulatan batin yang bisa jadi belum berhenti, meski sudah memilih salah satu pilihan.

 

Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi beberapa sudut pandang yang saya rasakan seumur saya menjadi istri dan ibu.

 

 

Saya ingin mulai dari istilah. Karena saya rasa ada masalah mendasar disini. Persepsi.

 

Entah sejak kapan, mulai ramai istilah : working mom dan stay-at-home mom. Working mom mengacu pada ibu bekerja eight – to – five, stay-at-home mom mengacu pada ibu yang memilih di rumah “saja”.

 

Awalnya, ini cuma istilah. Lambat laun jadi dasar persepsi. Adanya istilah ini membuat pengelompokan, yang membuat pikiran jadi merasa harus memilih antara 2 pilihan. If you’re working mom, than you can’t be a stay-at-home mom. Begitu juga sebaliknya.

 

Lebih jauh lagi, jadi bikin dua kelompok yang kadang saling –maaf- mencibir, atau malah saling iri dan ngiler.

Lucu kan jadinya ? How that term can actually drive your mind into a perception. A dicotomy. Ya, sebuah dikotomi. Pembedaan yang tegas.

 

Well, maaf, saya menolak pembedaan itu. Either you’re working or not, you are a FULL TIME MOM. Karena tak ada seorang ibu pun, yang pernah lepas pikirannya dari anak-anaknya. Dimana pun ibu itu berada. Di kantor, di rumah, di pasar, depan kompor, depan laptop, depan setumpuk kerjaan, ketika ber-daster, ketika ber-blazer. Whatever you do, whereever you are, a mother is a Full Time Mom. Titik.

 

 

Ini juga membawa ke sudut pandang baru.

 

Yang manusia butuhkan, laki-laki ataupun perempuan, adalah ruang untuk berkarya. Maka berkarya bisa dilakukan dalam bentuk apapun dan kapan pun. Saat bekerja di kantor, saat mengelola online shop, saat mengasuh anak, saat berbincang dengan tetangga.

 

Seorang ibu yang saat ini sedang fokus di rumah, bisa nanti Allah bawa ke dunia kerja. Seorang ibu yang berkarir, bisa nanti Allah bawa ke rumah. So be flexible.

 

Lagipula setiap ibu adalah pribadi yang berbeda. Cerita hidupnya beda, tuntutan dan amanah hidupnya beda, dan yang paling dalam adalah : misi penciptaannya dari Tuhan juga beda, maka akan Allah beri lika-liku hidup yang beda juga.

 

Jadi sangat tidak adil membanding-bandingkan antara hidup seorang ibu dengan ibu yang lain. Antara hidup seseorang dengan orang lain.

Tidak adil pada diri kita sendiri, jika memandang terus laju gerakan orang lain, dan membandingkannya dengan diri sendiri.

Tidak adil pada diri sendiri, jika anggapan orang lain menjadi kacamata kita ketika melihat diri sendiri.

 

So stop comparing yourself, this is your life. Not others.

 

 

Hidup kita tujuannya jelas : Mewujudkan misi penciptaan dari Allah.

 

Setiap orang unik dengan misi penciptaannya sendiri-sendiri. Oleh karena itu diberi bekal perjalanan yang beda, yaitu : bakat dan kekuatan yang beda. Dan tentu saja, diberi lika-liku hidup yang beda, karena setiap orang dibentuk oleh Allah dengan cara yang beda. Different life for every single person.

 

Jadi, hidup kita bukan untuk menjawab pertanyaan orang lain. Bukan untuk memenuhi ekspekstasi orang lain. Bukan untuk menyenangkan orang lain. Bukan untuk memuaskan standar orang lain.

 

Bedakan dengan :

Hidup untuk berkarya sebaik-baiknya. Hidup untuk menjadi istri sebaik-baiknya. Hidup untuk menjadi ibu sebaik-baiknya. Hidup untuk berbakti pada orang tua dengan sebaik-baiknya. Hidup untuk menjadi teladan di keluarga dengan sebaik-baiknya.

 

Hidup juga bukan untuk memanggul harga diri kemana-mana. Hidup bukan untuk menenteng kebanggaan apalagi gengsi. Hidup bukan untuk berharap dinilai sebagai : “sudah jadi orang atau belum”. Itu sangat dangkal.

 

Listen to this :

Saya tidak butuh pengakuan orang untuk menjadi berharga. Apa adanya diri saya, itu sudah sangat berharga. Jadi jangan pasangkan harga diri saya pada identitas : wanita karir, karyawan MNC, engineer, mom-preneur, dll. Seolah jika saya tidak punya identitas itu, then I’m nothing. Itu salah besar.

 

Siapa pun saya, saya terlahir dengan membawa 100% cinta dan penghargaan. Bagaimana pun diri saya, saya sangat berhak dicintai. Sangat berharga. Sangat istimewa.

 

So, please, do check your intention. Check your mind. Check your heart. Heal it.