Sunday, March 24, 2013

Ikhtiar dan pilihan (studi kasus: home birth)

Tiba tiba pengen nulis lagi tentang ini krn diskusi dengam seseorang tentang suatu isu terkait ikhtiar manusia.

Penen cerita lagi tentang home birth, dengan sudut bahasan yang berbeda.

Aku memilih home birth
1. Utamanya bukan utk pembuktian bahwa perempuan bs melahirkan secara alami
2. Bukan anti sesar
3. Bukan skeptis akibat keracunan nonton film birth as we know it yg ,emang mengkritisi fasilitas medis terhadap ibu bersalin

Lebih karena
1. Belum menemukan fasilitas medis yg memenuhi kriteria: dekat, pro asi, pelayanan memberikan kesempatan utk menjadikan pasien sebagai subyek yg berhak memilih pengkondisian sebuah proses kelahiran

2. Trauma dgn kelahiran sblmnya yang tanpa privacy, penuh intervensi tanpa komunikasi, walaupun dokternya termasuk dokter yang super baik hati

3. Puengen bangt nyobain waterbirth tp praktisi dokter yg deket lelaki. Ogah.

Bisa dilihat bahwa reasoning utamanya adalah mendapatkan pengkondisian emosi yg baik, rasa tenang, bahagia, dan mendapatkan tindakan intervensi sebagai last option dgn diberi kesempatan untuk memutuskan dengan sadar, kemauan sendiri, bukan kemauan orang, kepentingan diri dan bayi, bukan kepentingam orang lain, karena... dari kesimpulan 'dongengan' yg panjang utk diceritakan, hal ini adalah faktor lahirnya manusia yg bahagia, sehat lahir batin, minim trauma, krn trauma kelahiran aku percayai membawa dampak kepada karakter (selain faktor2 lainnya seperti genetik dll, tentunya), dan bonding emosi ibu dan bayi yang akan terbawa hingga nanti.

Risiko
Aku sih (merasa, rasanya lho ya) bukan tipe wanita wanita hebat (seperti yg kubayangkan) dan kuat yang percaya diri besar dengan kekuatan diri, dll (dalam hal memilih home birth). Sebenarnyaaa  lebih disebabkan keputusasaan tidak menemukan fasilitas medis yang bisa dan mau memasilitasi harapanku. Dengan kondisi aku sadar bahwa aku bukan belum jadi tipe yang 'alami alami'  (yg dengan persisten melakukan FC atau eat raw food, rajin yoga dst), sering makan mi instan dan sambel botol, sering terganggu relaksasi, lebay ketakutan saat pijat perineum, jarang earthing, jarang latihan nafas dan latihan latihan lainnya, I might have more risk daripada wanita wanita hebat yang telaten mempersiapkan diri. Tetep siiih aku berusaha menyempurnakan persiapan, tapi yaa... masih banyak deh kekurangannya. Orang orang jaman dahulu memang melahirkan dengan mudah, udara yg mereka hirup lebih bersih, mereka jalan kaki jarak jauh setiap hari. Mereka makan makanan alami walopun ngga pernah niat melakukan diet food combining atau diet raw food yang ngetren kembali jaman sekarang. Kesehatan mereka lebih seimbang, yang aku percaya inilah yang menyebabkan tubuh mereka bekerja dengan baik, termasuk dalam kehamilan dan kelahiran. Minim komplikasi.

Hari gini? Dengan kondisi aktualku? Yang bener aja, sampe sekarang aku juga suka mikir, weww pede juga ya gua ngelahirin rara di rumah dgn kebiasaan hidupku yang tipikal urban begini. Beginiii.... Aku melihat kok risikonya. Worst case nya adalah aku mengalami komplikasi ga ketebak yang lebih lambat ditangani ketimbang kalau aku melahirkan di rumah sakit, bagaikan orang naik motor atau mobil yang berisiko ketabrak, bagaikan main sky diving yang berisiko parasutnya ngadat lalu langsung jatuh dan ..... (isi sendiri yah).

Tapi coba lihat best case nya. Best case nya adalah aku melahirkan dalam situasi tenang dan penuh cinta, hormon tubuhku bekerja optimal dan membantuku melahirkan dengan sangat lancar, asi ku melimpahruah seiring melimpahnya oksitosin, bayiku lahir tanpa dibuat stress atau dipaksa keluar karena alasan lewat tanggal atau alasan kondisi penyulit yang sedikit meleset dari standar text book. Bayiku terlahir dari perut seorang ibu yang bahagia. Aku percaya kebahagiaan dan ketenangan orang orang yang menyambutnya mempengaruhi kebahagiaannya sebagai manusia baru. Dia lahir dengan tenaaang sekali, peralihannya begitu lembut dan tidak mengagetkan, dia keluar tanpa ditarik, keluar benar benar atas free will nya, murni kerjasama ibu dan bayi, memberikan ia kesempatan perdana untuk merasa dipercayai. Ibaratnya sky diver yang bisa melihat pemandangan sejauh cakrawala, merasakan aliran adrenalin yang ngga ada duanya, yang pastinya dia tidak lagi mengkhawatirkan parasutnya akan terbuka atau tidak.

Aku ingin memberikan kesempatan best case ini untuk terwujud. Setelah membuat pilihan, baru deh mari kita mikir untuk merencanakan manajemen risikonya, kuasai dan tentukan batas kedaruratan di mana kita harus memasrahkan diri pada pihak medis yang kompeten, jika memang pasti berhubungan dengan jiwa sang bayi. Kalaupun ada kondisi gawat, aku juga ngga akan ngotot melahirkan normal. Selanjutnya pasrah total, percaya Allah, percaya diri, percaya sang bayi.

Closing..
So.. ikhtiar bukan berarti menghindari segala risiko dengan menghilangkan segala potensi baik dan menurunkan cita cita. It's about setting your self goal and limit. Setiap orang bisa punya tujuan dan batas sendiri. Jika berbeda, ini bukan masalah benar atau salah, tapi sekedar perbedaan preferensi tujuan atau cara:-) yang pasti, sebelum nentuin tujuan dan batas, set your mind to zero, hilangkan trauma, kebencian subyektif atas sesuatu yang bisa jadi muncul akibat kejadian kecil dalam hidup kita yang sebetulnya tidak bisa kita jadikan generalisasi.

Sekian dan tirimikisiiii:-)

No comments:

Post a Comment