Sunday, December 25, 2011

Anak Kecilku Sudah Sekolah.



(Ditulis utk doc ITB Motherhood)

Dulu, aku termasuk  orang yang tidak berlalu berminat menyekolahkan anaknya di usia dini. Alasannya:

1.       Takut anak stress dikasih materi materi yang belum perlu

2.       Sebenarnya stimulasi stimulasi bisa dilakukan di rumah

3.       Sekolah mahal

4.       Khawatir memberi ‘kelas’ tertentu pada anak, berhubung sekolah anak kecil biasanya mahal, berarti yang masuk sekolah adalah golongan tertentu (eh tapi gak semua yah)

Yes. Aku (dulu) termasuk orang yang kalo melihat anak lain kecil kecil sudah sekolah, jadi mengasihaninya. Termasuk golongan yang mikir, “ya ampuun ngapain sih skolah kecil2”

Lalu pada akhirnya aku memutuskan untuk mencarikan sekolah di usia 2 tahun dengan alasan:

 

1.       Sempat mengalami speech delay. Terapinya sebenernya belum selesai selesai amat, tapi kulihat melanjutkan terapi ngga terlalu signifikan dampaknya, karena saat itu Raul sudah ada perkembangan cukup baik, tapi di tempat terapi hanya one-to-one dengan terapisnya, ngga sosialisasi dengan anak lain.

2.       Super introvert, cenderung takut dengan anak lain, beda dgn anak tetangga di usianya. Upaya membantu bergaul dengan tetangga sudah dilakukan, tapi pergaulan yg tidak terstruktur gitu malah membuatku takut anak ini makin takut bergaul, ditambah lagi ada anak2 yang lebih besar yang mulai berkata kata aneh dan mainannya aneh aneh (pedang, pistol2an yang sempet heboh karena ada pelurunya itu)

 

Mikir nyari sekolah hanya utk alasan itu. Membantu sosialisasi dalam sebuah lingkungan yang terkontrol dan diawasi, serta punya aturan yang inshaallah selaras dengan aturan orangtua. Kalo sama anak tetangga, banyak hal yang tidak bisa kita kontrol.

Setelah trial dan menemukan sekolah yang membuatnya nyaman (parameter nya adalah sekolah yg ga bikin raul stress), here I am, berubah pikiran. AKu yang tadinya mikir sekolah dini alokasi dananya menggunakan dana sampingan, kalo perlu nyisihin sedikit, sekarang berpikir untuk mengusahakan menambah penghasilan supaya anak bisa terus sekolah dini. Kalau sudah menemukan yang cocok, do whatever it takes untuk menyekolahkannya.

Dulu orang ga punya hp bisa survive, memang. Dulu kaga ada sekolah dini, ada juga yang berhasil mendidik anak yang soleh. Memang. Dulu cara mendidik yang baik tidak terukur, Semuanya terlihat baik. Sekarang banyak teori teori baru, tentu tidak ada salahnya menerapkannya.

 

Aku merasa sudah memberikan alat stimulasi yang yaahh… lumayan cukup di rumah. Tapi melihat sekolah Raul, aku menjadi berpikir…. Di sekolah atau di rumah, lingkungannya harus dikondisikan semaksimal mungkin untuk siap mensupport anak saat ia sedang ingin mengembangkan potensinya. POtensi otak anak begitu besar, kemungkinan minat khusus sedemikian luas. Tentu sayang sekali apabila lingkungannya tidak mendukung. Di sekolah ini, berbagai alat peraga ada, dan semua ‘tangible’, bisa disentuh. Lingkungannya begitu siap untuk memberikan support motorik halus, kasar, bahasa, nilai kesopanan, kasih sayang, dan banyaaakkk lainnya, dan selama di sana, guru fokus mendampingi mereka selama 4-5 jam waktu sekolah.

 

I’m a staying at home mom, tapi aku ngga bisa mencurahkan waktuku 5 jam berturut turut tanpa diganggu oleh hal yang lain. Apalagi yang musti mikirin masak, nyuci, ngepel, tentu kecenderungannya adalah menjadikan tivi sebagai babysitter (FYI smoga sudah pada tau bahwa tv program macem baby Einstein, blab la bla.. tetap tidak lebih baik dari mengajak anak mengobrol). Kalau anak ikut2 ke dapur dan ngacak2 cangkir keramik di saat kita lagi ‘kerja’, mood langsung ilang, yang ada teriak2 ga jelas utk melarang. Dari sisi ini saja lingkungan di rumah sudah tidak ‘prepared’. Secara teori aku tahu seharusnya tidak begitu. But it happens. Otakku tahu, tapi segala indera tubuhku tidak bisa mengontrol. Aku terkadang nitipin anak jg ke si mbak kalo lagi butuh istirahat. SI mbak yang sudah aku ‘briefing’ tentang pola pengasuhanku. Tapi tetep aja kecolongan utk hal hal kecil. Padahal aku di rumah lho. Sekedar informasi tambahan, rumahku kecil dan banyak sekali barang. Karena bikin usaha di rumah, rumahku kek kepal pecah, kertas dan dokumen di mana mana, ada printer, ada mesin jait, ada mesin obras, dan benda benda yang kalau dioprek Raul rasanya bikin emosi meledak. Kadang2 printout invoice yang baru keluar printer langsung dia ambil dan dia lempar ke mana mana. Very not prepared environment, tapi clueless bagaimana cara mengkondisikannya, karena ga ada ruangan lain utk menyembunyikan benda2 itu.

Aku jadi banyak belajar hal baru sejak Raul sekolah. Aku melihatnya (2-2.5 yo boy) melepas sepatu, menaruh di rak, menggantinya dengan sandal indoor, memasukkan  tasnya ke lemari tas, masuk ruangan, menyalami guru gurunya. Begitu teratur. Di dalam ruangan, ia memilih mau mengerjakan apa, mengambil alat peraganya dari rak, duduk di meja dan asik ngoprek dalam waktu yang cukup lama, diulang dan diulang lagi sampai puas tanpa ada yang memaksanya utk berhenti (suatu hal yg biasanya aku ngga sabaran di rumah, pengennya ngeburu2 karena harus melakukan hal yang lain). Setelah itu dia akan merapikan pekerjaannya dan menaruhnya kembali di tempatnya. Eyangnya aja takjub melihat rutinitas di sekolahnya, dan sering membanggakan apa yang sudah bisa Raul lakukan. Kalau ada kekotoran, anak dilatih utk bertanggung jawab and clean up his mess. Ini menimbulkan kebiasaan yang baik dan terbawa di rumah. Walaupun bikin tambah kotor, Raul suka banget bantuin bibi nyapu halaman. Kalo bibi lagi nyapu, dia ikutan nyapu pake sapu lidi, walaupun daun daunnya jadi kebawa ke arah yang salah :D kalau di rumah liat pel, Raul juga suka mengepel. Kalau lihat kanebo, dia ambil kanebonya dan mengeksplorasi rumah, mana yang bisa di lap.

 

Yep. Ketrampilan2 tersebut adalah hal yang sederhana dan memang bisa diajarkan sendiri. However, aku ngga akan belajar tentang hal baru tersebut kalau tidak menyekolahkan Raul. Aku mengantar Raul dan menjemputnya, mempelajari rutinitas pagi dan siangnya, dan aku sering melihat hal baru dan informasi baru untuk aku terapkan di rumah, yahh walaupun di rumah tidak se ‘prepared’ di sekolah. Guru gurunya aku lihat disayaaaaang banget sama anak anak. Di rumah, Raul selalu menyebut guru gurunya. They are great people. Kepala sekolahnya juga sangat berdedikasi terhadap pendidikan. Secara rutin mereka ngadain pertemuan orangtua, dan diskusi apaa aja. Sayangnya aku ga pernah ikut krn bentrok terus. Di forum itu didiskusikan segala hal, mulai konsultasi, sharing, hingga merencanakan bersama, apa yg perlu didapatkan anak ke depan, ikut ngusulin program kerja, gitu lah.

 

AKu juga dikasih kesempatan membeli buku buku kopian mengenai parenting, yang informasinya sangat bermanfaat. Terakhir aku dikasih buku tipis tentang alphabet song, jadi belajar alphabet dengan lagu.  Sebenarnya aku bukan orang yang setuju dengan anak belajar baca terlalu dini, apalagi setelah baca kontroversi metoda glenn doman, yang membuatku makin menjauhkannya dari belajar membaca. Tapi ketika aku setel lagunya dan menunjukkan huruf2 dengan gambarnya, Raul sukaaaaa banget, apalagi nada lagunya ear catching dan lucu. Masak sih aku harus menunda mengajari alphabet ketika Raul enjoy bangettt dan minta diulang ulang terus. Lirik favorit Raul adalah “fox in a box, x… x..x…”. Kalo dah ketemu huruf O dan X girang banget dan ‘laporan’, “Bundaaaa…. X bunda!”

Sayang lagunya bahasa Inggris, jadi belajarnya ei –bi – si, instead of a-be-ce. Ndakpapa lah, aku lagi nyusun lirik bahasa indonesianya, supaya berimbang.

Dengan memasukkan Raul ke sekolah, aku jadi belajar hal hal baru. Apakah batita perlu sekolah? Kujawab, dengan kondisiku… perlu. Kondisi orang lain beda lagi yahJ Pastikan menemukan lingkungan yang bisa menyediakan support terbaik, yang juga sesuai dengan nilai nilai yang kita ingin tanamkan. Jadi ga sembarang sekolah dipilih yah:)

No comments:

Post a Comment