Wednesday, May 23, 2012

Rahmanindya Khairin Annisa - The Journey to the World (1)

Pada kehamilan ketiga ini, lumayan rada panjang perjalanan survey dokter dan rumah sakit, karena dokter yang open-minded, mau diajak diskusi, dan fasilitas persalinan yang baik, penting buatku. Apalagi proses persalinan pertama (walaupun Alhamdulillah normal), adalah seperti sebuah teror buatku: rasa sakit yang tidak pernah diduga akan seperti itu, pemeriksaan dalam yang intens, proses dorong perut rame rame oleh banyak bidan, kebingungan mengejan karena instruksi dokter yang beda dgn instruksi tubuhku dan bius jahitan yang tidak mempan. Memang sih akhirnya aku sempat berpikir, ohh begini tho dukanya melahirkan, ya sudah lah ,… ‘wayahna’, kata orang sunda, itu harga menjadi seorang ibu. Lagian kata orang orang juga begitu. Penderitaan yang tidak istimewa, hehe.

(Note: Ngga semua persalinan di RS horror lho ya… banyak juga cerita rekan rekan yang merasa fine fine aja, ketemu tim yang oke, puas dengan pelayanan RSnya)

Lalu setelah baca sana baca sini, dan ketemu dengan filosofi gentle birth, ealah… aku merasa agak tertipu dengan pengalaman melahirkan tersebut. Ternyata untuk melahirkan, aku tidak wajib merasakan teror yang kualami sebelumnya. Ternyata sebenarnya aku punya pilihan. Pilihan tersebut memang belum tentu mudah dikomunikasikan dengan pihak tempat bersalin, tapi pilihan itu ada, yaitu untuk merasakan proses persalinan yang terduga, seperti yang kita inginkan, di mana kita lah (ibu, dan bayi) yang menjadi subyeknya. Selain itu, ada pula aspek yang tidak aku pahami sebelumnya, yaitu kesejahteraan bayi, secara psikis, yang lebih mungkin untuk dicapai oleh persalinan yang minim intervensi medis, persalinan yang sealami mungkin, yang cukup hanya memanfaatkan insting yang sudah given alias dari sononya, dikaruniakan oleh Allah, Sang Pencipta. Ternyata, bukan cuma ibu yang punya mau untuk diperlakukan begini dan begitu. Bayi juga. Ia punya keinginan untuk dilahirkan dengan kondisi yang ia mau, dan membahagiakan.

Memang tidak mudah mengkomunikasikan hal yang wajar ini, karena ternyata persalinan yang alami (justru gak neko neko) dianggap neko neko di hadapan dokter/nakes. Lumayan panjang perjalanan menclak menclok mencari nakes. Mungkin memang aku tidak terlalu telaten untuk mencari lagi, mungkin bisa saja aku berjuang lebih jauh lagi, tapi ada suatu titik di mana aku merasa sudah cukup. Satu satunya pilihan… melahirkan di rumah. Bebas menentukan skenario. Alhamdulillah suami merestui (gak langsung begitu aja lho.. dari awal kehamilan udah sering diskusi). Waktu itu sih, restu suami benar benar jadi kunci. Kalaupun beliau tidak setuju, akupun ngga akan ngotot. Selanjutnya, rajin rajin  baca dokumen di sebuah grup yang membahas kehamilan dan persalinan, ikut pelatihan hypnobirthing, belajar  TAT (salah satu teknik trauma healing) walopun telat dan cuma sempet praktek sebentar, sedikit sedikit cari tau titik acupressure induksi.  Tapi dari semua itu, yang paling bisa konsisten aku lakukan adalah sesederhana berdoa tiap habis solat. Itu yang paling ngaruhh buatku untuk stay positive. Gini nihh doaku, aku minta ke Allah supaya: posisi janin bagus, kepala di bawah, anterior, plasentanya di atas, tali pusat terjulur demikian rupa sehingga memudahkan persalinan (maksudnya supaya ga ngelilit lilit gitu), air ketuban bagus, jernih, selaputnya kuat dan pecah di saat yg tepat (siap), melindunginya dari benturan dan infeksi. Persalinan lancar, tenang, membahagiakan, penuh rasa syukur, …  dst.

Rinci bangettt yaa doaku hehe….  Tapi subhanallah, presentasi bayi memang selalu normal: kepala di bawah, anterior, ndilalah tali pusatnya ternyata besar dan tidak panjang (memungkinkan asupan yang baik dan kemungkinan lilitan kecil kalo kataku mah), selaput ketuban kuat (pecahnya pas bukaan lengkap). Dan semoga… ia lahir dengan perasaan yang berbahagia.

Karena sepanjang kehamilan aku lebih banyak baca artikel artikel yang suportif, Alhamdulillah ngga panikan kalau denger pernyataan pernyataan standar dari dokter yang disampaikan , misalnya..

‘beratnya kurang nih’

‘air ketubannya agak kurang di sisi sini, kita CTG ya, kalau hasil ngga bagus, kita induksi malam ini’ ---- week 37, akhirnya CTG 2 jam dan ternyata semua baik baik aja

‘minus berapa? Nanti kalau lahiran sepertinya harus pakai vacuum ya’

‘minus berapa? Di atas 4? Coba kamu cek ke dokter mata deh boleh normal atau nggak’ ---- dokter yang lain

‘ibu ibu sekarang mah kebanyakan baca internet’  ---- dokter yg lain lagi, setelah menanyakan tentang delayed cord clamping dan pengakuan jarang minum susu.

Yah yah… hal itulah yg membuat sejak week 37 aku kontrol mingguan ke bidan deket rumah aja, dengan catatan tetep mengawasi aktivitas gerakan bayi.

Tidak ada yang salah lho dari pernyataan pernyataan dokter. Merekalah ahlinya untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. It’s their job. Aku sangat menghargai dokter dokter itu. Bahkan obgyn yang menanganiku pada pengalaman pertama melahirkan, menurutku, adalah obgyn terbaik yang pernah aku temui. Tapi aku sadar betul bahwa pertemuanku dengan dokter hanya 1 bulan sekali, dan aku yakin aku tahu lebih banyak tentang kondisiku. Aku yang tahu aktivitas gerak janin dalam perutku. Alat dokter yang akan mengkonfirmasi. Kalau sudah bertemu dengan pernyataan yang terkesan mengkhawatirkan itu (yang hanya berdasarkan judgement 1 kali pertemuan yang ngga lebih dari 10 menit dan pemeriksaan sesaat), siapa lagi yang mau menjadi penyeimbang kalau bukan diri sendiri. Sudah ada pihak yang memberi informasi bahwa everything could be wrong. Tapi lalu, siapa yang akan membisiki kita bahwa everything could also be right? Dannn… aku yakin banget bahwa di dunia ini, di antara sekian banyak ibu yang hamil bersamaku, lebih banyak yang right nya daripada yang wrong. Antisipasi itu perlu, tapi daripada fokus ke probabilitas yang kecil, mending ke yang gede kan?

Mengenai keputusan home birth, percaya duehh itu bukan karena sesuatu yang hebat atau gimana gimana (habiss.. banyak orang yang bilang begitu). Komentar umum ada 2: hebat, dan nekat. Andaikan saja aku menemukan klinik atau RS yang bisa memfasilitasi/memperjuangkan persalinan sesuatu fitrahnya, I woud prefer hospital/clinic, karena ngga ingin ada pihak yang khawatir, apalagi di sekitarku ada saudara saudara dekat yang mengalami komplikasi kehamilan yang tidak sepele kasusnya. Sebelum ini pun aku sempat berkomentar serupa pada seorang teman yang sudah mendahului melakukan home birth: ngotot, nekat, bikin repot diri sendiri, dll. Ehhh ternyata setelah melakukan pencarian, memang ngga gampang yah nemu jodoh. Alhamdulillah kehamilan berlangsung tanpa komplikasi. Kondisi selalu normal dan sehat, walaupun sempat batuk berkepanjangan.

3 comments:

  1. Rikaaaa pengalamannya sama banget. Waktu melahirkan ayesha rasanya sakit campur bingung. Instruksi dokter dan kemauan badan ga sinkron. Bener2 horor dan traumatis. Wkt kelahiran alena,meskipun bs lbh tenang dan lbh sadar pd keinginan badan,tp teteppp bingung. Badan udh mengejan dgn sendirinya,tp dlarang2 suster. Setengah mati nahan ngeden smbl bingung,knp dilarang? tnyt krn bu dokter msh di lift T_T
    Thx sharingnya yaaaa,amat sangat menginspirasi for the next birth (plan) :)

    ReplyDelete
  2. hoaaa asiiiik.... ayesha alena mau punya adeekk, hehehe

    ReplyDelete
  3. kl saya sih pas mau lahiran anak pertama langsung divonis untuk caesar 2 hari kemudian (krn dokternya ada jadwal operasi, jd biar sekalian). Untungnya ngga nurut..cari second opinion...pas lagi kontraksi, dokter tsb sempet nengokin dan nakut2in (beneran lho) katanya: "mbak jangan maksain untuk lahiran normal, pasien saya ada yang maksain normal, 3 hari kemudian bayinya meninggal!" ga pantes banget kan seorang dokter ngomong kaya gitu...
    Ovi

    ReplyDelete