Sudah sering dengar ya istilah ini? Istilah ini memiliki
asosiasi dengan fisika energi, atau psikologi energi, biasa dipakai untuk mengobati
trauma (luka batin), bisa juga fisik. Yang saya pahami, pembahasannya cenderung
nyambungnya dengan Chinese Medicine, karena banyak pakai istilah chi, meridien,
sumbatan energi, dll. Saya sih cuma tahu sedikit istilah istilahnya ya, jadi
tidak akan banyak cerita tentang itu.
Saya mulai kenal self healing saat belajar mengenai
hipnoparenting dalam sebuah workshop. Di situ peserta diajari sebuah teknik
yang namanya SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique), lalu saya sempat
juga ikut preview seminar khusus SEFT. Di waktu yang lain, saya kembali kenalan
dengan yang namanya Quantum Touch, dan TAT. Semuanya berprinsip membuka
sumbatan energi di dalam tubuh. Terbukanya sumbatan sumbatan energi ini akan
menimbulkan berkurangnya perasaan cemas, takut, dan segala perasaan negatif
lainnya (termasuk sakit fisik).
Dalam beberapa forum, saya menangkap adanya pendapat
tertentu seperti, "Kenapa harus belajar hal hal seperti itu jika dengan Al
Quran dan shalat seharusnya hati menjadi tenang?". Terus terang saja, saya
juga awal awal dulu mempertanyakan hal yang sama dengan diri sendiri. Saya mempertanyakan ini ketika sedang duduk hening dan menjalankan salah satu metoda self healing yang menggunakan teknik mengetuk ngetuk titik tertentu. Ada semacam bisikan dalam diri "What are you doing here? duduk hening 10 menit lebih untuk kesembuhan jiwa padahal tahajudnya juga belum bener. Kok ngga dipake tahajud aja?", membuat saya sempat membenturkan ibadah dengan teknik self healing. Ada juga
ungkapan semacam "Muslim yang baik seharusnya tidak mengalami
depresi". Ada benarnya juga, walaupun itu tidak menggambarkan situasi
dengan holistik. Kalau kita benar benar paham sepaham pahamnya dengan makna berserah
diri (tidak hanya tahu pengertian dan dicamkan di otak, namun juga memohon pada
Allah untuk memahamkan qalbu kita atas maknanya), atas perkenan Allah, Dia akan
mengangkat sakit depresi tersebut. Tapi muslim yang baik juga tidak akan
menghakimi orang lain bukan muslim yang baik, karena hanya Allah yang tahu, hehehe.
Seiring dengan menjalani keduanya, saya menjadi paham akan irisan
keduanya.
Penyakit fisik dan jiwa sejatinya adalah satu. Fisik bisa
mempengaruhi jiwa, sebaliknya kondisi jiwa juga bisa mempengaruhi fisik. Kalau
badan kita ngedrop dan harus bedrest, tentu wajar kalau pikiran menjadi sumpek
dan makin stress. Kalau hati resah dan banyak pikiran, kepala bisa migren, atau
bisa disebut psikosomatis.
Al Quran (dan al hadits) adalah obat, itu hal yang saya
yakini. Salah satu contoh saya dapati belum lama ini lewat social experiment memperdengarkan Al Quran pada yang tidak pernah tahu tentang Al Quran. Banyak yang bilang hatinya menjadi tenang, bahkan ada salah satu yang menangis. Al Quran definitely has this healing effect. Tidak hanya obat jiwa, tapi obat fisik juga lho. Buktinya, ada doa
untuk demam. Demam itu kan sakit fisik. Tapi di sisi lain, Rasulullah juga
memerintahkan umatnya untuk pergi ke tabib apabila sakit. Dari sini saya
memahami bahwa dalam proses penyembuhan, ada media internal, dan ada pula media
eksternal. Internal maksudnya 'ngoprek' qalbu, eksternal maksudnya intervensi faktor lingkungan.
Karena saya meyakini fisik dan jiwa sejatinya satu (buktinya
orang sakit jiwa dikasih obat penenang juga, yang sebetulnya prinsipnya
menginterfensi fisik, karena jiwa bukan materi yang bisa disentuh), maka ini
berlaku pula untuk penyakit jiwa. Mari ambil contoh. Jika hati sedang sumpek
karena deadline pekerjaan yang begitu ketat dan beban kerja yang terlau tinggi,
maka media penyembuhan internalnya adalah dengan shalat dengan khusyuk dan
membaca Al Quran. (Membaca Al Quran juga bisa disebut sebagai media eksternal, karena vibrasi suara dengan tone yang rendah juga menenangkan). Serahkan semua urusan pada Allah setelah kita melakukan yang
kita bisa. Jika kita menyadari kita sudah mencapai batas kita, maka tidak akan
ada beban, mau dipecat kek, dimarahin bos kek, tidak akan ada beban, karena
kita sudah surrender. Adapun media
eksternalnya adalah sejenak keluar ke ruangan terbuka, mencharge dirinya dengan alam dan melakukan gerakan gerakan yang bisa
membuka sumbatan sumbatan energi yang membuat dia sumpek, misalnya dengan olah
nafas dan gerakan olah fisik tertentu, atau sekedar menyepi ke pantai dan
bercakap cakap dengan teman (kalau pakai istilah sekarang: butuh piknik). Self healing sebenarnya termasuk 'piknik' di sini, yaitu suatu media kesembuhan melalui hukum alam, sebab-akibat, seperti halnya minum obat untuk mengintervensi organ tubuh. Satu
dan lainnya tidak saling bertentangan bukan? Segala ikhtiar melalui media
eksternal ini sebenarnya tidak menyalahi sunnatullah. Kalau kita stress dan banyak berdzikir di
dalam kamar saja, tentu ini menyalahi sunnatullah juga.
Jadi, ini bukan masalah kurang dzikir atau kurang piknik. Bisa
jadi kurang salah satu, atau keduanya. Kalau kita sudah merasa cukup piknik tapi masih galau, ya evaluasi media internalnya, bukan dengan piknik lagi, hehe
Satu hal yang pasti, we never heal ourselves. Allah, is the one who heals us.
Wallahu a'lam bis showab
Wallahu a'lam bis showab
Saya setuju mbak, we never heal ourselves :)
ReplyDelete