Dalam hidup, tentu kita berhubungan dengan orang lain. Tidak
ada satu manusia pun di dunia ini yang memiliki pengalaman hidup yang identik,
bahkan kembar identik sekalipun. Nature, dan nurture, tentu akan membentuk
seseorang menjadi unik, unik penampakannya, dan unik jalan pikirannya. Inilah
sebabnya, saya tidak pernah menemukan satu orang manusia pun yang benar benar
mengerti saya 100%. Mengapa? Karena tidak ada satu manusia pun yang mengalami
pengalaman identik dengan saya. Hal yang menyenangkan buat saya, bisa tidak
menyenangkan buat orang lain. Bahkan kini dengan era sosial media, di mana saya
mudah sekali mengakses bagaimana orang berpikir,yang namanya kebenaran
universal pun bisa jadi berbeda menurut satu orang dan orang lain. Padahal
namanya universal. Ehh ternyata bisa beda juga. Dan semua orang bisa ngerasa
paling oke dalam mempercayai kebenaran universal.
Bertemu dan berhubungan dengan siapapun, semakin dekat, maka
saya akan sampai pada pemikiran pemikiran yang tidak cocok dengan saya, yang membuat
diri sok pinter saya berpikir "please, masak kaya gitu aja ngga
kepikiran", atau "bisa bisanya dia berpikir sejahat itu, atau secetek
itu?" atau "ini gampang
bangettt, masak begini aja ngga bisa". Nyatanya, orang lain juga berpikir
seperti itu tentang saya. Saya bisa saja menilai seseorang terlalu bodoh. Sementara orang lain ada yang menilai saya bodoh.
Dulu, hal ini membuat saya frustasi, karena saya nggak bertahan
akrab dengan orang lain. Ada saja hal yang berbeda. Saya sering sekali
menderita gara gara sikap orang lain. Padahal orang lain cuek dan santai santai
aja. Apalagi di jalanan. Di jalanan banyak sekali manusia manusia menyebalkan
luar biasa, yang menentukan mood dan produktivitas saya hari itu. Yang paling
menyesakkan adalah ketika orang orang yang berhubungan dengan saya hari itu melakukan perbuatan tidak
menyenangkan. Saya inget banget dulu pernah mengambil tempat duduk di kelas
bimbel, lalu orang lain meminta tempat yang saya duduki (padahal di kelas
biasanya duduknya bebas) dan saya bilang saya mau duduk di sini karena duluan.
Lalu 2 orang teman saya ini mendiamkan
saya. Putus silaturahim. Jika ada kesempatan saya selalu menyambung dengan
menyapa, tapi mereka cuek. Hal seperti ini saja bikin hidup saya menderita dan
sering nangis.
Tapi seiring waktu saya mendapat nasehat untuk berusaha belajar mengasah bagaimana
saya berpikir (masih on progress, daripada tidak sama sekali), memberi jeda waktu untuk memikirkan setiap hakikat kejadian: ini apa, kenapa terjadi, Allah mau kasih pesan apa, bagaimana respon yang kira kira Allah sukai. Betapa ruginya
jika keburukan orang lain bisa menentukan diri kita. Bahkan ada pula kebaikan
orang lain yang malah membuat kita terpuruk.
Kalau ambil contoh cerita Aa Gym, lihat orang lain senang aja kita bisa
panas dingin. Ternyata itu bisa terjadi jika bukan Allah yang jadi sandaran
bagi hati. Pernah dengar cerita orang yang jatuh bermaksiat karena dikecewakan
orang lain? Muslimah buka jilbab karena kecewa pada suaminya? Itu adalah contoh
ketika respon hidup kita ditentukan orang lain. Betapa ruginya. Namun selama
nafas belum terputus, tetap ada harapan bagi siapapun untuk husnul khatimah,
maka saya berharap saya tidak pernah mengundersetimate
siapapun, manusia sejahil dan sehina apapun. Mereka bisa jadi mati dalam keadaan yang baik, lebih baik dari saya.
Semua orang punya latar belakangnya sendiri yang membentuk
pola bagaimana mereka mersepon situasi. Semua orang (hopefully) memegang teori
kebenaran mutlak (buat saya, Quran dan Sunnah) dan berusaha berproses menuju kesempurnaan. Dan prosesnya...
bisa beda beda. Ada yang cepat, ada yang lambat. Ada yang menjadi lebih baik
dengan nasehat, ada yang perlu diberi cobaan/musibah besar untuk
bertransformasi. Yang akhir akhir ini saya pelajari, ada free will (usaha manusia),
ada lingkungan, dan ada Allah yang menggenggam setiap qalbu manusia. Manusia manusia menyebalkan yang kita jumpai
di jalanan, bisa jadi pelajaran baik buat kita jika kita mau memikirkannya. Bisa jadi mereka
sedang berproses dan kebetulan 'kelas'nya masih di bawah kita, bisa jadi Allah
takdirkan mereka menjadi cobaan buat kita untuk naik kelas. Jika kita masih
marah pake nafsu, ngambek, pada hakikatnya kita sedang tidak percaya pada Allah... tidak
percaya skenario Allah. Kelas tertinggi... adalah saat qalbu kita (bukan
sekedar akal dan mulut) berkata bahwa hanya Allah yang berarti. Only Allah matters. Itu adalah kelas orang orang yang bisa
menyikapi segala kepahitan dan buruknya perlakuan orang lain, dengan senyum dan
syukur, dengan tetap berprasangka baik pada Allah. Semoga saya juga tidak lupa untuk mendoakan orang orang nyebelin yang kita temui, agar mereka dimudahkan prosesnya.
Semoga saya bisa ke sana...
Hi kak Rika, salam kenal ya saya Desi. Saya suka bgt dg tulisan kakak. Awalnya saya mau cari tulisan tentang yoga trus ketemu blog kakak. Waktu dibaca ternyata kakak adalah muslim yg ngebahas yoga dengan mengabaikan label hindu. Trus ada banyak lagi tulisan kakak. Dan yang ini jujur dari judul sama konten nya ngena banget sama aku. Makasi banyak ya kak😀😀😀. Ditunggu tulisan berikutnya😀
ReplyDelete