Ok bismillah. Smoga Allah menuntun lisanku. Dalam
dunia mencari ilmu (yg mana kita manusia wajib cari ilmu) ada kaidah yg saya
percaya, yaitu mencari dan menyampaikan hal yg bisa dipertanggungjawabkan
secara keilmuan.
Let’s say penyampaian ajaran
islam melalui quran dan hadis. Quran dan hadis kan awalnya tidak
ditulis, tapi disampaikan oleh satu orang ke yg lain, di mana para
perawi (penyampai) ini memiliki kredibilitas yg baik dan syaratnya utk
disebut sahih juga berat. Penyampaian ajaran agama ternyata juga ada
kaidah standarnya supaya bisa dianggap terpercaya. Kalaupun setelah
melalui kaidah tersebut ternyata ada perbedaan karena intelektualitas
manusia, para ulama yg ilmunya tinggi justru tidak saling ngatain ulama
lain salah (ada kartunnya ttg ini tp lupa dimana liatnya, ttg betapa yg
doyan debat panas itu mahasiswa freshmen, pdhl syeikh nya yg beda
pendapat aja adem ayem).
Nah dalam dunia keilmuan yg
lain, sama. Kita semua mencari kebenaran berpegang pada kaidah yg
sama: riset, data, pedoman statistik. Semua pakar
melalui proses itu sebelum menyampaikan kebenaran. Kalau tidak, saya tidak bisa bilang pakar. Praktisi mungkin lebih tepat (orang yang mempraktekkan). Artinya, kebenaran
yg disampaikan punya dasar yg bisa dipertarungkan di sidang di hadapan banyak
orang, dgn obyektif, bukan emosional. Kalo ternyata riset nya nanti
berubah hasilnya, ya gpp, itulah dinamika ilmu pengetahuan. Kita ngga bisa
ngga percaya. Inilah yang membedakan orang yang berilmu dengan yang tidak. Lha kalau ngga percaya metoda ilmiah, kita mau klaim kebenaran dasarnya apa? Masak hasil terawangan. Jangan juga percaya sama gelar ustad, tapi harus cek dia belajar di mana dan
mendalami apa, sehingga kita ngga terjebak sama opini, bisa bedain opini dan informasi obyektif berdasarkan keilmuan.
Dalam dunia “holistik” (saya
pakai tanda kutip yah soalnya menurut saya “holistik’ yang istilahnya dipakai
banyak orang belum tentu benar benar holistik) ada praktek praktek yg dipercaya turun temurun
dan mungkin BELUM terbukti secara ilmiah. Banyak juga praktek praktek
pseudoscience, yaitu sesuatu yang kayaknya ilmiah, tapi sebetulnya belum ada
riset yang bisa membuktikan. Ya jalani saja kalo memang dirasa memberi manfaat.
Saya juga menjalani kok pseudoscience, sebut saja beberapa teknik self healing,
atau tes sidik jari untuk anak. Tapi saya tau betul ini pseudoscience, jadi
saya tidak akan berdebat sama akademisi yang mengatakan ini pseudoscience, lha
memang benar kok.Testimoni, tidak lantas menyebabkan sesuatu menjadi kebenaran yang pantas disebar ke khalayak. Kalo iya, kita gak usah ngamuk sama nenek yang ngasih pisang ke bayi 2 bulan. Lha kan bisa aja si nenek testimoni : "dulu kamu bayi dikasih pisang juga gak apa apa kok, sekarang gedenya jadi sarjana juga"
Sekedar info saja, what so
called ‘dunia medis’ juga kadang kadang melakukan hal hal yang belum
terbukti manfaatnya secara keilmuan, kalo yang saya tahu sih misalnya latar
belakang SOP penanganan ibu melahirkan di RS, atau pemberian obat yang tidak
rasional ( istilah tidak rasional ini karena gak ada dasar riset klinisnya,
tapi prinsip feeling dan pencegahan
saja tanpa menggali risikonya).
So, dari pengamatan saya, dunia “medis” dan “holistik”, keduanya
ada pihak melakukan atau mempercayai hal hal yang belum terbukti dalam
koridor ilmiah. Nah ketika masing masing pihak keukeuh bahwa tindakannya adalah
benar, sebenarnya itu mencederai bidang masing masing. Misalnya, (1) Praktek
dokter yang tidak RUM, menurutku mencederai dunia medis dan ilmu
pengetahuan (2) Praktek pengobatan “holistik”
yang ngasih herbal tanpa ada riset yang memback up nya, lalu diblow up dalam
kemasan testimoni yang gak sesuai dengan pedoman statistik, itu juga mencederai
dunia kesehatan “holistik”. Padahal herbal kalau diteliti, pasti potensinya
luar biasa. Sayang banget kan ternoda dan jadi terhambat perkembangannya gara
gara praktisi herbal sendiri. Ini yang membuat kalangan medis memusuhi "holistik", begitu juga sebaliknya. Masing masing sebenarnya memusuhi sisi gelap yang lain, tanpa peduli sisi terangnya.
Masing masing penodaan ini, justru menjadi bumerang terhadap
terciptanya kondisi HOLISTIK yang sebenarnya. Holistik yang sebenarnya menurut
persepsi saya, adalah seperti melihat gajah dari jarak yang cukup untuk bisa menyimpulkan
bentuk gajah, bukan seperti orang buta yang satu pegang belalai yang satu
pegang telinga, lalu masing masing
ngotot tentang bentuk gajah.
So, saya ga percaya kalau medis dan “holistik” itu bertentangan.
Dalam kehidupan nyata saya, saya juga menjalani dan mempercayai
prinsip holistik, dan menolak mekanisasi tubuh manusia yang dianut dunia medis yang katanya dimulai sejak Revolusi Industri. Tapi ketika menyampaikan sesuatu ke orang lain, saya harus punya
dasar, sebagaimana mendakwahkan isi Quran dan hadis juga harus jelas ayat
berapa, konteks asbabun nuzulnya bagaimana, untuk hadis tingkatan hadisnya
gimana (untuk menjadi status hadis shahih itu perawinya nggak main main
syaratnya berat). Jadi ketika saya mempromosikan sesuatu yang belum ketemu ‘dasar’nya,
maka saya wajib menyertakan disclaimer.
Misalnya, keterangan bahwa hal ini memiliki risiko a, b, c, atau saya sekedar
menyebut saja “ eh ini caraku lho, belum tentu benar”. Jadi dengan ini kita
juga ngajak orang lain untuk bertanggungjawab pada pilihannya sendiri, sadar
benefit, sadar risiko. Masalahnya kadang kadang orang lain asal ngikut aja sih
hhehee.
Hal ini juga yang menyebabkan saya mengerem atau ‘kontrol diri’
dalam mempromosikan popok kain. Kalau boleh ngaku ngaku, saya termasuk jajaran orang
pertama atau pionir promosi popok kain di Indonesia (tentunya bersama beberapa
rekan yang lain, terutama di milis popok kain) di tahun 2008. Saat itu Enphilia termasuk brand yang awal awal muncul sebagai alternatif produk impor yang selain mahal juga berantai karbon lebih panjang.(check out www.rumahpopok.com atau www.facebook.com/enphilia hehehe ngiklan deh) . Dulu saya memulainya dengan
promosi cinta lingkungan, karena memang semuanya dimulai dari keinginan reduce dan
reuse. Gara gara itu, cukup banyak orang mengaku menjadikan saya panutan karena idealisme
cinta lingkungan, kemungkinan tanpa paham sisi lain dari hal yang sedang saya promosikan. Menurut saya sih itu gawat, kalo mereka tahu saya masih nyetok
pospak, bisa pada muntah, hehe. Tapi sekarang, yang sibuk kami lakukan sekarang
adalah mengerem orang lain untuk mempromosikan popok kain dengan klaim cinta
lingkungan secara berlebihan. “generasi penerus” di belakang kami memang
mengikuti jejak kami mempromosikan popok kain, tapi kok jadi seolah olah “agama
baru” ya, yang menghakimi kaum yang “tidak cinta lingkungan”, dan
mengklaim fakta fakta yang mereka jabarkan adalah benar, padahal risetnya juga
ngga bisa ditelusuri. Akibatnya apa coba? Saya ngeliat beberapa teman justru
terindikasi skeptis luar biasa sama popok kain (isu yang sama ditemukan pada
promosi Gentle Birth). Mungkin akibat
mereka merasa dihakimi? Kalo mau cari contoh lain sih banyak ya, di
bawah bendera “MOM’s WAR”.
Apa yang sekarang saya perjuangkan jadi lucu sebenernya. Saya
ini pemakai popok kain yang merasakan benefit darinya, pedagang popok yang
pingin dagangan laku, tapi yang saya lakukan adalah mengerem orang dari promosi
kebanyakan. Saya juga ikutan memperjuangkan gentle birth, tapi justru sibuk mau
ngasitau orang bahwa intervensi medis is not that bad, jangan ngotot normal kalau jelas berisiko tnggi.
.
I keep on selling. But, I want people to know well what they are
buying.
Let's collecting puzzles of truth.
Menuju Holistik yang sesunggunya (tanpa tanda kutip)
Segala kebenaran datangnya dari Allah
Kalau ada yang salah, salah salah kata, itu sayanya aja yang salah. Mohon maaf yaaa